Mimpi
merupakan sebuah bagian terbesar dalam hidup, bahkan banyak orang
yang beranggapan bahwa mimpi merupakan sebuah tujuan hidup yang
dicapai.
Apa
mimpimu ?
Kapan
itu terwujud?
Bagaimana
merealisasikannya ?
Kita
sering kali di jumpai oleh pertanyaan-pertanyaan seperti itu entah
itu dari orang tua, guru, kerabat terdekat dan dari elemen masyarakat
lainnya.
Mimpi atau cita-cita adalah suatu impian dan harapan seseorang akan masa depannya, bagi
sebagian orang cita-cita itu adalah tujuan hidup dan bagi sebagian
yang lain cita-cita itu hanyalah mimpi belaka. Bagi orang yang
menganggapnya sebagai tujuan hidupnya maka cita-cita adalah sebuah
impian yang dapat membakar semangat untuk terus melangkah maju dengan
langkah yang jelas dan mantap dalam kehidupan ini sehingga ia menjadi
sebuah akselerator pengembangan diri namun bagi yang menganggap
cita-cita sebagai mimpi maka ia adalah sebuah impian belaka tanpa api
yang dapat membakar motivasi untuk melangkah maju. Manusia tanpa
cita-cita ibarat air yang mengalir dari pegunungan menuju dataran
rendah, mengikuti kemana saja alur sungai membawanya.
Manusia
tanpa cita-cita bagaikan seseorang yang sedang tersesat yang berjalan
tanpa tujuan yang jelas sehingga ia bahkan dapat lebih jauh tersesat
lagi. Ya, cita-cita adalah sebuah rancangan bangunan kehidupan
seseorang, bangunan yang tersusun dari batu bata keterampilan, semen
ilmu dan pasir potensi diri.
Bagaimanakah jadinya nanti jika kita memiliki beribu-ribu batu bata, berpuluh-puluh karung semen dan berkubik-kubik pasir serta bahan-bahan bangunan yang lain untuk membuat rumah namun kita tidak mempunyai rancangan maupun bayangan seperti apakah bentuk rumah itu nanti. Alhasil, mungkin kita akan mendapatkan rumah dengan bentuk yang aneh, gampang rubuh atau bahkan kita tidak akan pernah bisa membuat sebuah rumah pun.
Fenomena seseorang tanpa cita-cita bisa dengan mudah kita temui, cobalah tanya kepada beberapa orang siswa SMU yang baru lulus, akan melanjutkan studi di mana mereka atau apa yang akan mereka lakukan setelah mereka lulus. Mungkin sebagian dari mereka akan menjawab tidak tahu, menjawab dengan rasa ragu, atau mereka menjawab mereka akan memilih suatu jurusan favorit di PTN tertentu. Apakah jurusan favorit tersebut mereka pilih karena memang mereka tahu potensi mereka, tahu seperti apa gambaran umum perkuliahan di jurusan tersebut dan peluang-peluang yang dapat mereka raih kedepannya karena berkuliah di jurusan tersebut, sekedar ikut-ikutan teman, gengsi belaka, trend, karena mengikuti “anjuran” orang tua, atau bahkan asal pilih? Yang terjadi selanjutnya adalah di saat perkuliahan sudah berlangsung, beberapa dari mereka ada merasa jurusan yang dipilihnya tidak sesuai dengan apa yang dia bayangkan atau tidak sesuai dengan kemampuannya. Boleh jadi setelah itu ia akan mengikuti ujian lagi di tahun depan atau malas-malasan belajar dengan Indeks Prestasi Kumulatif alakadarnya. Sungguh suatu pemborosan terhadap waktu, biaya dan tenaga.
Dahulu ada sebuah tradisi kurung ayam, balita yang sudah berumur beberapa bulan dikurung dalam sebuah kurungan ayam yang ditutuipi kain. Lalu di sekeliling kurungan tersebut disimpan berbagai macam benda yang mewakili profesi seperti gitar (musisi),
spidol (pengajar/guru), sarung tinju (atlit), pesawat-pesawatan (pilot) dan lain-lain. Lalu orang tua akan memperhatikan benda apakah yang pertama kali diambil oleh balita tersebut, jika ia mengambil terompet maka orang tua akan beranggapan sang bayi kelak akan menjadi seorang musisi atau berpotensi menjadi seorang musisi. Namun tampaknya adat semacam ini jarang dilakukan lagi. Nilai yang dapat diambil dari tradisi semacam ini adalah bahwa orang tua mempunyai peranan penting dalam memfasilitasi anaknya untuk mengeksplorasi bakat dan minat yang dipunyainya. Dan membantu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Cita-cita bukan hanya terkait dengan sebuah profesi namun lebih dari itu ia adalah sebuah tujuan hidup. Seperti ada seseorang yang bercita-cita ingin memiliki harta yang banyak, menjadi orang terkenal, mengelilingi dunia, mempunyai prestasi yang bagus dan segudang cita-cita lainnya.
Bagaimanakah jadinya nanti jika kita memiliki beribu-ribu batu bata, berpuluh-puluh karung semen dan berkubik-kubik pasir serta bahan-bahan bangunan yang lain untuk membuat rumah namun kita tidak mempunyai rancangan maupun bayangan seperti apakah bentuk rumah itu nanti. Alhasil, mungkin kita akan mendapatkan rumah dengan bentuk yang aneh, gampang rubuh atau bahkan kita tidak akan pernah bisa membuat sebuah rumah pun.
Fenomena seseorang tanpa cita-cita bisa dengan mudah kita temui, cobalah tanya kepada beberapa orang siswa SMU yang baru lulus, akan melanjutkan studi di mana mereka atau apa yang akan mereka lakukan setelah mereka lulus. Mungkin sebagian dari mereka akan menjawab tidak tahu, menjawab dengan rasa ragu, atau mereka menjawab mereka akan memilih suatu jurusan favorit di PTN tertentu. Apakah jurusan favorit tersebut mereka pilih karena memang mereka tahu potensi mereka, tahu seperti apa gambaran umum perkuliahan di jurusan tersebut dan peluang-peluang yang dapat mereka raih kedepannya karena berkuliah di jurusan tersebut, sekedar ikut-ikutan teman, gengsi belaka, trend, karena mengikuti “anjuran” orang tua, atau bahkan asal pilih? Yang terjadi selanjutnya adalah di saat perkuliahan sudah berlangsung, beberapa dari mereka ada merasa jurusan yang dipilihnya tidak sesuai dengan apa yang dia bayangkan atau tidak sesuai dengan kemampuannya. Boleh jadi setelah itu ia akan mengikuti ujian lagi di tahun depan atau malas-malasan belajar dengan Indeks Prestasi Kumulatif alakadarnya. Sungguh suatu pemborosan terhadap waktu, biaya dan tenaga.
Dahulu ada sebuah tradisi kurung ayam, balita yang sudah berumur beberapa bulan dikurung dalam sebuah kurungan ayam yang ditutuipi kain. Lalu di sekeliling kurungan tersebut disimpan berbagai macam benda yang mewakili profesi seperti gitar (musisi),
spidol (pengajar/guru), sarung tinju (atlit), pesawat-pesawatan (pilot) dan lain-lain. Lalu orang tua akan memperhatikan benda apakah yang pertama kali diambil oleh balita tersebut, jika ia mengambil terompet maka orang tua akan beranggapan sang bayi kelak akan menjadi seorang musisi atau berpotensi menjadi seorang musisi. Namun tampaknya adat semacam ini jarang dilakukan lagi. Nilai yang dapat diambil dari tradisi semacam ini adalah bahwa orang tua mempunyai peranan penting dalam memfasilitasi anaknya untuk mengeksplorasi bakat dan minat yang dipunyainya. Dan membantu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Cita-cita bukan hanya terkait dengan sebuah profesi namun lebih dari itu ia adalah sebuah tujuan hidup. Seperti ada seseorang yang bercita-cita ingin memiliki harta yang banyak, menjadi orang terkenal, mengelilingi dunia, mempunyai prestasi yang bagus dan segudang cita-cita lainnya.
Ketika
saya masih TK, di depan guru saya, saya bermimpi untuk menjadi
dokter. Dan ketika setelah menonton film kartun kesukaan saya, saya
langsung berandai-andai dan bermimpi akan menjadi tokoh kartun atau
pun tokoh dalam film yang saya tonton seperti nija hatori, memiliki
doraemon, power rangers dan masih banyak lagi. Mungkin ketika saat
seperti ini saya menarik kesimpulan bahwa dulu saya TK masih labil
dan berlebihan . Tap tujuannya baik, untuk menyelamatkan umat
manusia. Meski terkadang masih suka berandai-andai seperti itu .
Heheheh
Masa
SD, di masa ini saya memiliki cita-cita buat berantem, tauran, jadi
agent rahasia atau macam-macam kegiatan ekstrim lainnya . Mungkin
karna keseringan diajak nonton film action sama papa.
Hehehehhe
. .
Masa
SMP , saya sudah mulai mengambil cita-cita sebagai seorang arsitek .
Keinginan itu sangat kuat sekali, selain belajar menggambar, saya
juga sudah mulai belajar perhitungan matematika untuk membuat sebuah
bangunan. Yang saat itu terdengar sangat asik dan seru .
Masa
SMA, ini mungkin masa dimana keputusan akhir saya harus membuatkan
cita-cita saya, karna dimasa ini saya harus memilih sebuah
universitas yang menjadi awal saya dalam menepuh cita-cita saya . Di
masa ini banyak sekali timbul pergulatan dalam batin , mulai
menimbang-nimbang resiko suatu pekerjaan, mengukur tingkat pekerjaan,
dan pendapatan yang dihasilkan dari profesi yang dipilih .
Hingga
akhirnya saya memutuskan untuk menjadi seorang pelaku bisnis,
keputusan saya ini di dukung oleh keluarga saya yang berharap dapat
melanjutkan bisnis yang telah mereka bangun.
Dan
memalui waktu dan proses yang panjang , hingga sampai lah saya pada
saat ini masa dimana saya merasakan dunia begitu luas dan banyak
sekali hal yang terkadang di luar akal sehat. Masa kuliah, di masa
ini semakin membulatkan cita-cita saya sebagai seorang pelaku bisnis,
menjadi seoarang business woman muda , banyak sekali cita-cita mulai
dari membuat sebauh produk atau jasa, dan mengembangkannya dalam
skala internasional .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar